Ketika Ayah Bekerja di Rumah

Tentunya sudah banyak yang mengetahui cerita tentang Max Schireson yang mengundurkan diri dari jabatan CEO sebuah perusahaan bernilai miliaran dolar untuk fokus pada keluarga, dan menjadi ayah penuh waktu. Ia sangat menyukai pekerjaan barunya tersebut.

Schireson berhenti menjadi pemimpin MongoDB Inc, perusahaan database Internet, dalam sebuah pernyataan yang dirilisnya di blog. Baiklah, saya tidak akan membahas tentang dia, tetapi para pekerja lain yang mungkin gamang dengan kondisi seperti ini. Passion begitu menggebu untuk tersalurkan sebagai peternak kambing, tetapi terbelenggu pekerjaan sebagai financial advisor di sebuah kantor kawasan elit.

Sudah terlalu banyak cerita berbalut keluhan bahwa hati dan pikirannya tidak ada di bilik kubikel kaku di kantor semacam itu. Lebih suka ada di kandang, memberi makan kambing, menjual susu dan dagingnya dengan suka cita, sambil terus menimba ilmu tentang peternakan. Pun kisah tentang beberapa web designer bergelar sarjana hukum atau sarjana psikologi dan penulis dengan gelar sarjana teknik sipil. Seorang sarjana hukum menjadi pebisnis sampah daur ulang? Why not? Mengatur dan mengendalikan semuanya dari rumah. Menjadi bos bagi diri sendiri.

Sudah banyak beredar kisah hikmah tentang seorang anak yang hendak membeli waktu ayahnya agar bisa bermain bersama. Beranikah kita meluluskannya dan membiarkan anak kita membayar demi kehadiran sejam dua jam saja? Bekerja bukan hanya kepuasan secara materi yang tercukupi dari penghasilan entah rutin bernama gaji atau tak tetap seperti honor proyek. Lebih dari itu, bekerja artinya kepuasan batin karena dikerjakan dengan penuh cinta dan ketenangan pikiran karena tak lagi diprotes keluarga karena hal sederhana.

Oh ya, ini memang dilema banyak orangtua masa kini. Saya pun kerap mengalami protes dari keluarga. Bagi mereka yang sudah terbiasa dan nyaman dengan keteraturan jadwal kerja dan kepastian penghasilan setiap bulan, tentu tak akan bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan jadwal yang dapat sewaktu-waktu berubah atau honor yang tak dibayarkan oleh klien.

Ada anekdot yang dulu sering saya dengar, yaitu pria tak pantas bekerja di rumah. Dia harus keluar rumah untuk menjemput rezeki bagi keluarganya. Pria yang diam di rumah tak bisa disebut pria jantan. Bila hal ini dibicarakan saat ini, tentunya menjadi sesuatu yang tak lagi bisa diterima. Pria bisa duduk di rumah, membuka komputernya sambil mengawasi anak-anak bermain dan belajar. Tak ada yang salah. Dia tetap bekerja. Hanya tempatnya yang berubah. Hanya waktunya yang dapat diatur sendiri.

Kembali ke Max Schireson. Ah, dia kan sudah kaya raya, mau keluar dari perusahaannya sendiri dan diam di rumah dengan keluarga pun, rekeningnya masih gendut. “Bagaimana dengan saya?” Ciptakan kenyamananmu sendiri. Tak perlu melihat bagaimana keputusan Schireson untuk dirinya dan keluarganya. Lihatlah apa kebutuhanmu dan keluarga. Para bujang, tentu masih bisa dengan mudah menentukan bagaimana pilihan yang baik itu untuk dirinya dan bila berkeluarga kelak.

Banyak pekerjaan keren yang bisa dilakukan seorang pria demi memaksimalkan passion dan bakatnya dari rumah. Mungkin kamu salah satu yang sudah berhasil melawan kegalauan hati? Berbagi di kolom komentar yuk!

2 Comments

  1. Bobby Prabawa

    Aha…benar sekali. Ayah yang bekerja di rumah pasti menimbulkan hasrat kepo ibu-ibu untuk selalu bertanya. Bu, suaminya kerja di mana? Kok di rumah terus. Dan setiap kali mengisi kolom pekerjaan di buku rapot anak, tidak ada pilihan freelancer. hanya ada pegawai swasta, PNS, belum bekerja. Jadi berlatihlah sabar dalam menjawab bagi ayah yang bekerja di rumah. 😀

  2. Papapz

    wah keren saya sangat setuju dengan hal ini, saya ingin bekerja di rumah agar bisa selalu berkumpul dengan anak-anak dan istri, apalagi anak-anak masih kecil dan istri pun bekerja jadi pengen banget deh punya kebebasan waktu dan finansial seperti itu.. semoga satu saat terkabul ^^
    izin copy intisarinya ya 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *