Belajar di Depan Layar Komputer

shutterstock_77121955

Freelancer Image via Shutterstock

Masih ingat bagaimana di tahun-tahun ke belakang, belajar berkutat seputar buku, pensil, penggaris, penghapus, dan satu benda yang paling hobi saya habiskan: tipp-ex. 😆 Dulu, pertama kali saya menggunakan penghapus cair untuk pulpen itu ada dua botol yang dibawa ke sekolah. Satu botol cairan berwarna putih dan satu lagi bening yang berguna untuk mencairkan si putih yang mulai mengering. (tunggu, ini saya pakai bahasa mbulet nggak jelas, ya? :mrgreen: )

Ketika memasuki dunia kampus, tipp-ex itu masih ada dengan bentuk yang lebih canggih, seperti selotip, tapi penggunaannya pun jarang. Maklum, mulai berkenalan dengan MS Office.  Tombol “delete” dengan mudah ditekan tanpa harus merasa menjadi jorok karena tulisan ditimpa tipp-ex tebal. Benar, kan? Iya aja biar cepat. 😀

Apa bedanya belajar menggunakan kertas dan menggunakan program komputer? Bagaimana keuntungan dan kerugiannya? Anda sendiri yang menilai. Lebih nyaman yang mana. Dari dulu, saya lebih suka mengumpulkan ide tulisan di sebuah notes yang saya bawa ke mana pun pergi. Ternyata teman saya komikus dan arsitek juga ada yang masih suka menggambar dengan kertas dan pensil. Meski hasil akhir dipercantik melalui program komputer, “Membuat sketsa dengan pensil itu rasanya seksi, An,” kata seorang teman sampai kehabisan kata dan memilih ‘seksi’ sebagai ungkapan rasanya. 😀

“Belajar berjam-jam di depan layar komputer itu melelahkan, An,” sang arsitek memberi alasan.  Pun ternyata sampai sekarang, bekerja di depan layar yang sama lebih dari 12 jam sehari, antara memudahkan dan merepotkan. Iya sih, saya juga merasakan hal yang sama. Tetapi entah mengapa, seperti ada “magnet” yang menuntut agar saya tetap berada di depan komputer. Menulis semua draft di notepad atau MS Word dan membuat banyak folder. Alasan naifnya adalah, lebih mudah meng-copy paste dan menyuntingnya. Kalau ditulis di buku / kertas, menyalin ulang ke komputer rasanya malas maksimal. No? 🙂

Belum lagi alasan tambahan, sumber materi untuk belajar ilmu baru lebih mudah ditelusuri lewat halaman rumahnya Mbah Google, ya? Alih-alih jalan ke toko buku malas membayangkan macetnya, mending cari referensi serupa tinggal klik sambil duduk di teras. Begitu? Saya banget. Hihihihi…

Tapi ternyata, secanggih-canggihnya kemudahan belajar di internet, saya masih termasuk tipe yang suka mencium aroma kertas saat belajar dan bekerja. Ketika belajar tentang EYD atau diksi di internet begitu melelahkan dan membuat saya menggerutu, membuka kamus yang tebalnya sepuluh senti ternyata malah membuat betah.

Salah satu bagian dari e-learning yang saya suka adalah webinar.  Kelas dunia maya yang bagi saya sangat seru karena berkumpul dalam satu ‘ruangan’ dengan peserta dari berbagai lokasi.  Menyenangkan karena diskusi berjalan seru.  Hanya dengan modal koneksi internet yang stabil, belajar bisa dilakukan sambil ngopi, toh?

Baiklah, apapun tipe belajar Anda, pastikan ilmunya bermanfaat untuk menambah daftar portofolio CV kelak. Okay? 😉

2 Comments

  1. Mohamad Arif Manan

    Benar juga itu , dulu wktu saya sekolah mengalami hal yang sama juga, tapi setelah saya di belikan laptop oleh orang tua saya, di rumah tuch jarang saya menulis, malah kebanyakan saya ngetik sampai dengan sekarang kecepatan menulis saya sudah sangat meningkat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *